Dulu, siapa tak kenal sapu ijuk. Ya, dulu, sapu yang terbuat
dari serabut pelepah pohon enau itu begitu populer di kalangan orang tua,
terutama di pedesaan. Rasa-rasanya ibu-ibu atau pembantu rumah tangga kita,
dulu, tak bisa lepas dengan barang itu, manakala membersihkan lantai rumah, di
pagi, siang atau sore hari. Ketika barang itu tak ada di tempatnya, misalnya,
biasanya ibu-ibu menggerutu, kemudian mencarinya ke sekitar rumah.
Namun kini, sapu ijuk (injuk
dalam bahasa Sunda), tidak seperti dulu lagi. Sapu ijuk sudah mulai atau bahkan
sudah dilupakan, termasuk oleh ibu-ibu yang dulu setia dengan barang itu.
Namanya juga, boleh jadi tidak familiar lagi, apalagi untuk generasi milenial,
generasi masa kini yang amat bangga dengan aneka gadget keluaran baru tersebut.
Hanya, harapan sih, kesimpulan tersebut
salah, keliru, hehehe
Mengapa seperti itu? Jawabanya, tentu karena kini sudah ada
beberapa alat pembersih lantai yang dinilai lebih praktis. Sebut saja vacuum cleaner
yang bentuk dan ukurannya bermacam-macam.
Vacuum cleaner, konon lebih bisa menyedot debu yang
bersembunyi di lobang-lobang kecil, termasuk membersihkan kuman-kuman lantai
yang membahayakan. Alat ini kalau di
negeri ini barangkali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ya? Bedanya, KPK belum sebelum seperti vacuum
cleaner yang canggih-canggih karena keberadaan banyak diganggu pihak luar yang
tak ingin dibersihkan seperti debu dan kuman…
Sapu, boleh jadi masih digunakan rumah tangga, baik di
pedesaan atau di kota. Namun sapu yang digunakan, kini sudah beragam. Maksudnya
sapunya kebanyakan bukan yang terbuat dari ijuk lagi, tetapi dari bahan sintetis, karet atau senar. Padahal,
sapu yang terbuat dari bahan terakhir, konon, tidak sehebat sapu ijuk, dalam
kemampuannya membersihkan yang kotor-kotor di lantai.
Adakah yang merasakan dampak dari mulai dilupakannya sapu
injuk? Tentu saja ada. Salasatunya perajin sapu injuk. Akibat sapu ijuk mulai
dilupakan dan kalah bersaing dengan sapu berbahan lain, para perajin kini
berada dalam kecemasan kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Hal itu misalnya
dirasakan perajin sapu injuk di Desa Cimuncang Kecamatan Malausma, Kabupaten
Majalengka, Jawa Barat.
Menurut Iwan Munawar, seorang perajin yang masih setia
membuat sapu injuk, gara-gara ada sapu berbahan sintentis, senar dan alat
pembersih lainnya, penghasilannya semakin menurun, bahkan terkadang nihil. Itu
terjadi, karena barang produksinya yang biasanya diambil bandar dari wilayah
Rajagaluh untuk selanjutnya disebarkan ke sejumlah wilayah, kurang laku di
pasaran. Hal ini menyebabkan bandar, tidak setiap hari atau minggu mengambil
barang dari mereka.
Dulu, kata Iwan,
berapapun jumlah sapu yang diproduksi akan cepat habis. Ya, karena bandar
hampir dua hari seminggu datang untuk
mengambil sapu dari mereka. Otomatis, hal itu menyebabkan mereka tersenyum,
karena datangnya bandar berarti akan
mendapatkan uang dari barang yang diproduksinya.
“Namun kini, menyedihkan. Bandar kadang datang dua minggu
sekali. Kadang juga sebulan sekali, dengan alasan barangnya masih menumpuk di
gudang,” kata Iwan suatu ketika kepada penulis.
Itulah memang roda kehidupan. Berputar, berubah.
Sapu ijuk itu, boleh jadi suatu hari nanti hanya tinggal
nama yang tercatat dalam ensiklopedi. Gejalanya sudah ada. Salahsatunya, pohon
enau yang dulu begitu banyak, sudah mulai hilang, ditebangi karena dianggap
kurang produktif atau karena lahan tempat bertumbuhnya disulap jadi perumahan
karena perumahan sudah bergeser ke desa-desa.
Tentu buka hanya sapu ijuk yang hanya tinggal nama, tetapi
juga gula merah sadapan enau serta
kolang-koling (cangkaleng,
Sunda) yang biasa hadir pada bulan puasa.
Namun mudah-mudahan, nasib KPK mah tidak seperti sapu ijuk.
KPK justru harus semakin kuat dan menjelma jadi vacuum cleaner yang canggih dan
kuat. Mungkinkah?
0 Komentar